unplash/@jeshhoot |
Tidak kesulitan untuk mencari jawabannya. Sebab sejak kecil, sepak bola seperti bahasa ibu, yang sulit untuk ditinggalkan. Entah berbentuk permainan nyata maupun fiksi tetap saja menarik.
Terlebih, kini saat kesibukan yang tidak menentu, untuk melepas penat gim sepak bola adalah pilihan terbaik.
Rasanya saat stik play station sudah ada di genggaman, jiwa saya seperti sudah menjadi manajer sepakbola sekaliber Jurgen Klopp, atau bahkan Pep Guardiola.
Waktu 2 jam terasa sebentar saat bermain gim. Apalagi kalau permainan berjalan seru dan ada lawan tanding yang menarik untuk dikalahkan. Bisa-bisa lupa waktu.
Kalau dibilang kecanduan, tak salah. Dibilang hobi juga ada benarnya. Namun yang pasti, bermain gim sepakbola, bagi saya, sudah menjelma menjadi ajang peribadatan untuk melepas penat.
Saya sempat berpikir apabila itu hanya saya alami. Anggapan itu ternyata salah. Anak kecil, remaja, sampai orang dewasa mudah dijumpai di rental PS.
Mereka datang punya kemiripan. Para pelajar bermain gim sepakbola sepulang sekolah, orang dewasa main sepulang bekerja, dan anak kecil bermain gim untuk menghabiskan hari libur sekolah.
Ada alasan unik yang sampai saat ini saya masih ingat. Itu datang dari kolega dekat. Intinya dia bilang kalau bermain gim, sepakbola terutama, merupakan perilaku yang baik.
Tentu perkataan itu menimbulkan tanda tanya. Lantas saya tanyakan alasannya. Dia menjawab kalau bermain gim itu baik, selagi tidak berbuat maksiat.
“Ada-ada saja orang ini,” batin saya.
Tapi, percayalah sepakbola lebih dari sekadar permainan di atas lapangan hijau. Sepakbola juga dimainkan dalam bentuk gim di layar berukuran 32 inci, menjadi taruhan judi, atau hiburan saat akhir pekan.
Sepakbola juga sudah menjadi pemersatu orang dari berbagai latar belakang. Lihatlah saat Timnas bertanding.
Karena sejatinya sepakbola adalah bahasa universal yang menghubungkan kita semua.
0 Komentar