Tumpukan buku. |
Padahal, pada bulan Agustus ini ada dua yang mestinya saya lahap. Meskipun targetnya hanya separuh, tapi itu sudah capaian yang lumayan berat untuk saat ini.
Dua buku yang dimaksud adalah buku berjudul Imagine Communities tulisan Benedict Anderson dan buku yang ditulis tim Tempo soal tokoh PKI Munawar Musso.
Buku Imagine Communities |
Terkhusus untuk judul yang pertama, sebenarnya bulan Agustus ini merupakan waktu yang pas untuk menghantamkan buku tersebut. Buku yang menceritakan soal nasionalisme itu sangat relevan untuk dibaca pada momen peringatan HUT RI.
Aktivitas membaca
Dewasa ini pilihan mendapatkan informasi dengan cara membaca bukan opsi utama. Ada cara yang dianggap lebih mudah. Melihat video di YouTube, reels Instagram, atau video pendek di TikTok yang dirasa dirasa lebih simpel.
Ada juga cara lain, misalnya mendengarkan podcast di Spotify atau mendengarkan radio. Media yang menyediakan konten audio visual lebih digandrungi daripada yang hanya berbasis teks.
Buku tentang Musso. |
Kalaupun membaca, orang-orang saat ini lebih suka membaca tulisan yang tidak terlalu panjang, dan langsung to the poin. Maka dari itu, media mulai menyediakan infografik, soalnya bisa alternatif yang menarik.
Itu juga berlaku bagi saya. Kini, sejak media penyampaian informasi lebih banyak, sumber pendapatan pengetahuan yang saya dapat kebanyakan berasal dari konten video YouTube.
Malahan, tulisan yang menyajikan data dan laporan mendalam, seperti di Koran dan Majalah Tempo, serta Kompas.id jarang saya baca. Padahal ada sebagian uang yang sudah saya sisihkan untuk berlangganan media tersebut
Lembaran yang terbengkalai
Tak ayal, puluhan buku yang terjejer dengan rapi, kini hanya menjadi kumpulan kertas yang terbengkalai. Tak pernah dibuka apalagi dibaca oleh pemiliknya.
Itu baru buku yang terjejer di tempat yang saya huni saat ini. Di rumah, lebih banyak lagi buku-buku yang terbengkalai. Bahkan, untuk jenis tertentu, saya donasikan, karena saya yakin tidak bakal dibaca.
Padahal, dahulu, hampir setiap bulan, minimal ada dua buku yang saya khatamkan. Tidak hanya itu, setiap bulannya pasti ada tulisan resensi tentang buku yang telah dibaca. Kemudian saya unggah di blog ini.
Oleh karena itu, perlu upaya untuk kembali membudayakan membaca buku. Memang tidak mudah, tapi harus dimulai kembali.
Seorang kolega pernah bilang, lebih baik membaca buku secara kontinyu meskipun hanya satu halaman, daripada membaca berlembar-lembar, tapi tidak rutin.
Saya yakin, membaca adalah salah satu cara ampuh untuk mendapatkan pengetahuan. Pastinya selain berdiskusi dan bepergian ke tempat yang belum pernah dituju.
Faktor lingkungan
Tidak dapat dipungkiri lingkungan membentuk pola kebiasaan dalam membaca buku. Tanpa ada dukungan dari lingkungan sekitar, sangat sulit membudidayakan membaca buku.
Dahulu, saat masih aktif di lingkungan pers mahasiswa. Obrolan tentang buku menjadi bahasan yang menarik untuk didengarkan. Selain berita terkini yang menarik untuk diperbincangkan.
Itu dahulu. Saat menjadi mahasiswa aktif, mereka tidak terbesit dan terbebani kebutuhan finansial yang harus dipenuhi. Karena yang dipikirkan mahasiswa aktif hanya berapa banyak buku yang dibaca, dan pengalaman yang didapatkan.
Akan tetapi, untuk saat ini, sudah berputar 180 derajat. Sejak label sarjana muda itu disematkan, yang dipikirkan bukan seberapa banyak buku yang dibaca, tapi dari mana saya bisa mendapatkan uang.
Tidak bisa disalahkan. Mahasiswa yang lulus dari bangku kuliah, biasanya, sudah tidak mendapatkan uang saku dari orang tua. Mereka membutuhkan pekerjaan untuk mendapatkan uang.
Sebenarnya, juga masih ada komunitas literasi yang salah satu gerakannya mengajak membaca buku. Tapi, kendalanya, keinginan untuk membaca sudah kalah dengan kebutuhan yang harus dipenuhi.
0 Komentar