Jalan setapak di Tlogo Gentong. |
Rumah milik Mbah Mesinem punya arsitektur sederhana. Di seberang rumahnya ada kebun yang digunakan untuk bercocok tanam. Kesibukan Mbah Mesinem pun tidak jarang dihabiskan di situ.
Berbeda dengan kebanyakan warga, yang hanya menggantungkan hidup dari berkebun dan beternak, Mesinem punya mata pencaharian lain, yakni berdagang. Dia membuka toko di rumahnya.
Mesinem tidak menaruh harapan besar pada toko yang ia buka, sebab tidak terlalu ramai pembeli. Berdagang di toko hanya digunakannya untuk penghasilan tambahan.
Rumah Mbah Mesinem. |
Keberadaan toko itu sangat berguna, saya bersama seorang kawan bisa beristirahat di situ. Momen itu juga kami manfaatkan sembari mendinginkan mesin motor setelah menempuh perjalanan lumayan lama dari Kota Blitar dan melewati jalan terjal.
Pertemuan dengan Mbah Mesinem pada Ahad, 6 Agustus 2023 pagi yang dingin itu juga terasa lebih hangat. Ada secangkir kopi yang disuguhkan dan membuat obrolan kami lebih gayeng.
Mesinem mengakui baru sekitar satu tahun tinggal di rumah tersebut. Sebelumnya dia dan sejumlah tetangganya menempati daerah yang lebih tinggi, di lereng Gunung Kawi, tepatnya di kampung yang biasa disebut Tlogo Gentong.
Berkat cerita Mbah Mesinem itu pula, gambaran tentang daerah yang dijuluki kampung indah di lereng Gunung Kawi tersebut sedikit demi sedikit akhirnya terbuka. Sehingga referensi kami tidak melulu dari artikel dan video di internet.
Setelah secangkir kopi yang dibeli habis, perjalanan dilanjutkan ke Tlogo Gentong. Setiap jengkal jalan dilalui dengan hati-hati, jalan yang tidak rata dan dipenuhi bebatuan memicu adrenalin tersendiri.
Sampai di Tlogo Gentong
Salah satu rumah di Tlogo Gentong. |
Ini yang terkadang membuat bingung. Penyebutan sebuah kampung berbeda-beda. Bahkan bisa dua sampai tiga nama, termasuk di Tlogo Gentong.
Orang luar biasa menyebut dengan Tlogo Gentong. Akan tetapi, ada pula yang menyebutnya Sumbermanggis, ada pula yang menyebut Kulon Bambang. Untuk nama yang terakhir tertera pada nomor rumah yang menempel di tembok.
Ada sejumlah pertanyaan yang menyelinap setelah sampai di Tlogo Gentong. Itu menyoal terkait kehidupan di kawasan tersebut. Listriknya dari mana? Gubug yang ikonik apakah masih ada? Berapa KK yang masih tinggal di kampung itu? Bagaimana dengan hewan ternak mereka? Dan pertanyaan lain.
Air yang mengalir dari sumber mata air di Tlogo Gentong. |
Pertanyaan-pertanyaan itu coba kami cari jawabannya dengan berkeliling di kampung tersebut. Rumah tradisional, air yang jernih, ayam, anjing, kambing menjadi penyambut kedatangan di Tlogo Gentong.
Jepretan foto dan rekaman video tak lupa juga harus kami lakukan. Berbekal cerita dari warga, Tlogo Gentong bakal dikosongkan karena akan digunakan untuk peternakan sapi perah milik salah satu perusahaan swasta.
Micro Hydro
Rumah micro hydro untuk menghasilkan energi listrik. |
Pertanyaan terkait listrik akhirnya terjawab. Warga Tlogo Gentong memanfaatkan micro hydro untuk mendapatkan energi yang bisa digunakan untuk menyalakan lampu dan memenuhi kebutuhan yang lain.
Micro hydro itu terletak sekitar 350 meter dengan pemukiman penduduk. Di situ ada pipa yang berisi air dan motor untuk menghasilkan energi listrik. Dari lokasi tersebut ada kabel memanjang yang mengarah ke pemukiman warga.
Menarik. Masyarakat Tlogo Gentong bisa hidup mandiri untuk memenuhi kebutuhan listrik, tanpa harus bergantung pada perusahaan yang dimiliki negara.
Hewan Ternak
Warga Tlogo Gentong hidup dari memelihara hewan ternak. Dari kacamata saya, hewan ternak yang mereka miliki lumayan banyak. Terutama kambing, yang mendominasi.
Tidak mengherankan apabila beternak hewan menjadi mata pencaharian pilihan. Pertimbangan utamanya adalah karena lokasi tersebut didukung sumber daya alam yang melimpah untuk pakan ternak.
Masyarakat yang kini sudah tak lagi berdomisili di Tlogo Gentong juga masih menitipkan ternaknya di kampung tersebut. Padahal mereka sudah punya tempat tinggal di wilayah yang lebih dekat dengan pusat Desa Sumberurip.
Seorang peternak usai mencari pakan ternak. |
Sehingga untuk memberi makan hewan ternaknya, masyarakat yang tinggal di bawah, setiap hari harus pergi ke Tlogo Gentong, untuk memberi pakan pada hewa ternaknya.
Berhubung jumlahnya tidak sedikit, warga dalam satu hari harus bolak-balik sebanyak dua kali untuk memenuhi kebutuhan pakan. Baru setelah itu bisa turun ke tempat tinggalnya.
Dihuni 4 KK
Obrolan di salah satu samping rumah warga Tlogo Gentong. |
Meskipun sudah mulai ditinggalkan penduduknya karena menempati hunian yang baru, ternyata masih ada warga yang bertahan di Tlogo Gentong. Mereka beralasan masih ada hewan ternak yang ada di Tlogo Gentong.
Di sisi lain, warga sebenarnya juga masih nyaman menempati kampung yang berada di sebelah timur Sirah Kencong tersebut. Warga beralasan sudah lama tinggal di situ.
Seorang peternak usai mencari makan. |
Cerita itu kami dapatkan dari obrolan dengan Muhirin, 47 tahun, dan Sarmedi, 43 tahun. Keduanya sama-sama memiliki hewan ternak yang dipelihara di Tlogo Gentong.
Keduanya bercerita apabila beberapa tahun terakhir penduduk di Tlogo Gentong berangsur-angsur berkurang, setelah dibuatkan hunian di tempat yang secara ketinggian lebih rendah.
Salah satu sudut di Tlogo Gentong. |
Kini, Tlogo Gentong hanya dihuni oleh 4 orang KK. Jangan heran apabila ada rumah-rumah kosong tak berpenghuni karena ditinggalkan pemiliknya.
Oleh sebab itu pula, gubug yang dianggap ikonik dan lapangan di kampung tersebut tidak terurus. Pada akhirnya gubug itu rata dengan tanah dan lapangannya sudah dipenuhi rumput serta ilalang yang tinggi.
Cerita tentang Tlogo Gentong adalah cerita non-fiksi di Bumi Penataran. Sebuah kampung yang mencoba hidup mandiri dengan kekayaan alam yang dimiliki, meskipun punya lokasi yang tergolong sulit untuk dijangkau.
2 Komentar
Mbah mesinem biasa di panggil mbok mes?
BalasHapuskalau nama panggilannya, kurang tahu..
BalasHapus