Mahasiswa diprediksi akan turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi buntut kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).
Sebelumnya, pemerintah telah mengumumkan kenaikan BBM per Sabtu (3/9/2022). Pertalite yang semula Rp7.650/liter menjadi Rp10.000/liter.
Sementara Pertamax yang semula Rp12.500/liter menjadi Rp14.500/liter. Kemudian harga solar subsidi naik dari Rp5.150/liter jadi Rp 6.800/liter.
Mulai Senin (5/9/2022), diprediksi gelombang unjuk rasa akan terjadi di mana-mana. Termasuk salah satunya adalah mahasiswa.
Mereka pasti akan membawa tuntutan yang akan disuarakan. Tuntutan yang paling nyata adalah 'Tolak Kenaikan BBM'.
Memang penolakan itu disuarakan mahasiswa sebagai bentuk pembelaan terhadap masyarakat bawah, seperti ara nelayan, tukang ojek maupun masyarakat kecil lainnya.
Di sisi lain, pemerintah menaikkan BBM karena anggaran yang dipenuhi oleh negara sudah terlalu besar untuk subsidi. Menurut pemerintah salah satu pilihannya agar keuangan negara tidak kolaps adalah mengurangi kuota BBM.
Di sinilah yang harus dipahami, apa yang disuarakan mahasiswa harus benar-benar melalui kajian yang mendalam. Bukan hanya melalui penglihatan sepintas di linimasa sosial media.
Saat-saat seperti ini, tentunya semuanya harus bisa berpikir objektif. Mahasiswa menyuarakan kritiknya dengan tepat. Mereka juga harus berbasis pada kajian mendalam.
Para masyarakat yang kaya juga harus legowo untuk membeli BBM yang lebih mahal, yakni yang non subsidi. Karena BBM bersubisidi adalah jatah untuk masyarakat tidak mampu.
Pemerintah juga harus membuat peraturan yang menegaskan siapa yang berhak membeli BBM subsidi dan siapa yang dilarang membeli BBM bersubsidi.
0 Komentar