Sebuah suporter sepak bola mempunyai visi yang luhur, mereka mendukung tim kesayangannya agar bisa menang dan meraih prestasi setinggi-tingginya.
Dukungan yang diberikan tim sepak bola juga tidak kecil. Mereka rela kehilangan waktu, tenaga, dan biaya hanya untuk mendukung tim kebanggaannya.
Seperti halnya salah satu suporter tim PSS Sleman, yakni Brigata Curva Sud. Salah satu suporter yang punya loyalitas sangat tinggi kepada tim kesayangannya.
Ada pengalaman yang begitu berkesan bagi saya, waktu itu menyaksikan laga sepak bola PSS Sleman menghadapi Persik Kediri di Stadion Brawijaya, Kota Kediri.
Saya duduk di tribun yang diperuntukkan untuk suporter tim tamu, atau lebih tepatnya tribun yang diduduki oleh Brigata Curva Sud.
Awalnya bagi saya biasa-biasa saja saat telaga belum dimulai. Para kawanan suporter ini ada yang bermain ponsel, ada yang berbincang dengan teman di sampingnya, ataupun ada yang hanya berdiam menatap lapangan.
Semuanya berubah para pemain kedua kesebelasan memasuki lapangan. Para suporter ini seperti bersiap-siap ingin melakukan sesuatu.
Benar saja, saat peluit dari pengadil lapangan ditiup, mereka semuanya berdiri, tidak ada yang duduk. Sambil menunggu aba-aba dari capo atau dirigen yang mengomando lagu dan gerakan.
Semuanya bernyanyi dengan suara yang lantang. Capo juga memberikan isyarat harus menggunakan suara perut. Gunanya agar suaranya lebih nyaring dan kompak.
Tidak sampai di situ, teman yang ada di samping saya asyik bermain HP sejak laga dimulai. Maklum dia tidak mengetahui sepak bola dan juga tidak menyukainya.
Tidak berselang lama salah satu suporter memberikan peringatan kepada teman di sebelah saya. "Mas HP ne ngko disek", begitu kira-kira yang disampaikan oleh orang tersebut. Teman saya menurutinya.
Saya yang secara pribadi ingin menikmati sepak bolanya dan kurang begitu ingin bernyanyi juga mendapatkan teguran. "Mas nyanyi mas, mas nyanyi," dengan perkataan seperti itu kepada saya, akhirnya saya terdorong untuk bernyanyi.
Selama babak pertama, tidak ada satupun suporter yang duduk karena merasa lelah, ataupun badannya pegal-pegal. Semuanya tetap berdiri dan bernyanyi.
Akhirnya peluit panjang babak pertama ditiup oleh wasit. Baru para suporter ini duduk untuk menikmati air mineral yang didapatkannya atau yang dibeli.
Di sisi lain juga ada suporter yang baru bisa membuka ponselnya. Namun perlu dicermati, tidak ada dari mereka yang berfoto selfie. Paling mentok foto kerumunan suporter.
Tak terasa jeda babak pertama begitu singkat, peluit tanda dimulainya babak kedua ditiupkan oleh pengadilan lapangan. Para kawan suporter Ini akhirnya berdiri semuanya dan bernyanyi.
Seperti halnya pada babak pertama, tidak ada yang bermain ponsel, tidak ada yang duduk, dan semuanya harus bernyanyi. Sebisa mungkin menggunakan suara perut.
Saya sangat takjub dengan budaya di tribun yang dihuni Brigata Curva Sud. Mereka semacam punya manifesto yang harus diterapkan oleh anggotanya.
0 Komentar