Petani sudah seharusnya bangkit dari penindasan. Bukan tanpa alasan. Mereka punya peranan besar namun masih sering dikesampingkan kesejahteraannya.
Petani yang bekerja keras mengelola lahan dan tanaman di sawah seakan-akan harus rela mengelus dada, di saat panen gabahnya dihargai murah oleh penggiling gabah.
Mereka tidak bisa berbuat banyak meratapi kenyataan seperti itu. Hanya pasrah akan keadaan yang bisa diterima oleh petani.
Usaha selama berbulan-bulan, berpanas-panasan terasa sia-sia saat menerima kenyataan murahnya harga gabah.
Di sisi lain, pemerintah terkesan memberikan patokan harga beras yang murah. Melalui Bulog, pemerintah memberi penegasan harga beras yang dijual.
Akibatnya, petani terpaksa menjadikan gabah dari sawah untuk konsumsi pribadi. Tidak dijual kepada penggiling ataupun tengkulak beras.
Maka dari itu, kesejahteraan dari petani hanya omong kosong. Mereka kembali lagi menjadi masyarakat miskin yang perekonomiannya tidak terangkat.
Lalu apa solusinya?
Pertama, memotong mata rantai pembelian beras. Saat konsumen bisa membeli beras langsung kepada petani, jarak harga antara petani dan konsumen tidak terlalu besar.
Berbeda saat konsumen harus membeli di toko-toko, di warung-warung ataupun melalui mini market. Tentu alurnya sangat panjang.
Petani bisa mematok harga beras seperti yang ada di toko-toko. Dengan demikian, mereka bisa menjual berasnya dengan harga yang lebih tinggi. Dibanding menjual kepada pedagang atau tengkulak.
Solusi yang kedua adalah pemberdayaan kelompok masyarakat. Dalam suatu kelompok terdiri dari orang dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Mereka harus bisa memberikan peran bagi kelompoknya. Bagi petani, maka harus bisa menyuplai kebutuhan pangan. Bagi yang berprofesi lain juga demikian.
Saat kelompok tersebut bisa memenuhi kebutuhan kelompoknya. Kesejahteraan anggotanya kemungkinan besar bisa terjamin.
0 Komentar