Masyarakat kesekian kalinya kembali menjadi korban. Penyebabnya, ada penyelewengan dana operasional pesantren yang dilakukan oleh pihak terkait.
Parahnya lagi, penyelewengan itu dilakukan di masa pandemi Covid-19. Waktu di mana masyarakat betul-betul kesulitan ekonomi.
Menurut artikel di Tempo tanggal 30 Mei, Indonesia Corruption Watch telah menemukan dana dari Kementerian Agama mengalir ke beberapa pesantren fiktif di sejumlah provinsi.
Pesantren abal-abal itu tidak ditemukan keberadaannya berdasarkan alamat yang terdaftar di Kementerian Agama. Masyarakat setempat juga tak mengetahui keberadaannya.
Kalau berbicara dana yang dibagikan untuk pesantren, nominalnya tidak sedikit, yakni sekitar Rp 2,5 trilliun.
Tidak hanya mengalir ke pesantren fiktif, bantuan itu juga menjadi bancakan berbagai pihak, dari pejabat Kemenag hingga anggota DPR.
Banyak pula pesantren yang menerima bantuan operasional tidak sesuai dengan jumlah santri yang dimiliki. Tempo menyebut, bahwa sikap aji mumpung di tengah wabah sungguh tidak patut.
Menurut Tempo, akar masalah penyelewengan ini adalah tata kelola keuangan di Kemenag yang amburadul. Lembaga ini gagal menyelesaikan pekerjaan rumahnya.
Buruknya mekanisme penyaluran, termasuk verifikasi data calon penerima, membuat kebocoran dana terjadi di banyak titik. Bahan sampai digunakan untuk kegiatan kampanye politik.
Hal itu diperparah dengan keberadaan UU nomor 2 Tahun 2022 yang membuka celah terjadinya penyelewengan. Klausul yang menyebutkan pejabat berkaitan dengan penanganan pandemi tidak dapat dituntut perdata maupun pidana digunakan sebagai tameng.
Dengan berlindung di balik UU tersebut, para penumpang gelap ini bisa menggasir uang rakyat dengan seenaknya.
0 Komentar