Keberlangsungan kaderisasi dalam sebuah organisasi bukan perkara yang mudah. Ada saja perkara yang menyebabkan proses tersebut tersendat, atau tidak berhasil.
Saat pengurus sudah menjalankan organisasi dengan maksimal, para kader dan anggotanya tidak bisa diajak bergerak. Begitupun sebaliknya, para kader dan anggota bisa diajak bergerak, pengurus tidak menjalankan roda organisasinya.
Mengacu pada sebuah kegiatan kaderisasi, misalnya dari 100 orang yang mengikuti kegiatan pasti tidak semuanya bakal mentas sesuai yang diinginkan.
Bisa mentas 10% saja itu sudah baik. Setelah melewati banyak sekali proses yang dijalankan dalam sebuah organisasi.
Bahkan tidak jarang kita sering menyebut kegagalan itu sebagai hukum alam. Meskipun saya sendiri tidak setuju dengan istilah tersebut. Pasti ada hukum sebab akibat yang berlaku pada proses kaderisasi.
Dari orang-orang yang mengikuti kaderisasi, bukan berarti mereka yang tidak bisa mentas sesuai yang kita inginkan dapat dikatakan gagal. Mereka masih bisa berguna pada bidang-bidang yang lain.
Saat saya membaca tulisan dari Pimred NU Online Jatim, Syaifullah, saya menemukan gambaran yang pas terkait proses kaderisasi. Beliau menceritakan sosok Mbah Hamid Pasuruan saat memberikan nasehat kepada pengurus Ansor.
Dahulu, sekitar tahun 60-an, seorang santri Mbah Hamid yang menjadi pengurus di tingkat Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Pasuruan nyaris putus asa dalam hal kaderisasi di tingkat kepengurusan ranting atau desa.
Pasalnya, dari sekitar seratus lulusan pelatihan, paling hanya ada tiga hingga lima kader saja yang bisa diandalkan. Berangkat dari kerisauan itu, si santri memutuskan sowan pada Kiai Hamid untuk konsultasi.
Saat itulah, Mbah Hamid menunjuk kepadanya jajaran pohon kelapa yang berbanjar di pekarangan rumah. Kepada sang murid, kemudian dijelaskan makna pohon kelapa tersebut.
"Aku menanam pohon ini, yang aku butuhkan itu buah kelapanya. Ternyata yang keluar pertama kali malah blarak, bukan kelapa. Setelah itu glugu, baru setelah beberapa waktu keluar mancung. Mancung pecah, nongol manggar, yang (sebagian rontok lalu sisanya) kemudian jadi bluluk, terus (banyak yang rontok juga dan sisanya) jadi cengkir, terus (sebagian lagi) jadi degan, baru kemudian jadi kelapa,” katanya kepada sang santri.
Dengan penuh seksama, paparan tersebut disimak sang santri Ansor. Tidak ada kata penyela, dirinya fokus mendengarkan Mbah Hamid memberikan penjelasan hingga tuntas.
“Lho, setelah jadi kelapa pun masih ada saput, batok, kulit tipis (yang semua itu bukan yang saya butuhkan tadi). Lantas, ketika mau diambil santannya, masih harus diparut kemudian diperas. Yang jadi santan tinggal sedikit,” jelas Mbah Hamid.
Usai memberikan penjelasan ini, Mbah Hamid masih belum selesai. Rangkaian kalimat penuh hikmah keluar dari sosoknya yang memang menjadi insan terpilih.
“Itu sunnatullah. Lah yang 95 orang kader itu, carilah, jadi apa dia. Glugu bisa dipakai untuk perkakas rumah, blarak untuk ketupat,” tegas Mbah Hamid.
Dijelaskannya bahwa kalau inginnya mencetak orang alim, tidak bisa diharapkan bahwa murid di kelas bakal mumpuni semua. Pasti ada seleksi alam, akan ada proses pengerucutan.
“Meski begitu, bukan berarti pendidikan itu gagal. Katakanlah yang jadi hanya 5 persen, tapi yang lain bukan lantas terbuang percuma. Yang lain tetap berguna, tapi untuk fungsi lain, untuk peran lain,” pungkas Mbah Hamid.
Dengan penjelasan ini, sang aktivis Ansor manggut-manggut. Dalam benaknya terpatri sebuah falsafah pendidikan humanis yang visioner dari seorang waliyullah.
0 Komentar