24 Maret 2020, tanggal itu sangat mengenang di kepala. Setelah tanggal tersebut rentetan panjang perjalanan yang menjadi efek domino terjadi.
Kronologinya, 24 Maret 2020 adalah tanggal di mana saya kembali menginjakkan kaki di Bumi Pertiwi setelah dua bulan berada di Negeri Gajah Putih Thailand.
Namun pada waktu kepulangan, Bumi Pertiwi sedang tidak baik-baik saja. Pandemi Covid-19 sedang melanda, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Akibat kejadian itu pula, saya diwajibkan mendekam di rumah untuk menjalani karantina mandiri selama 14 hari. Tentu bukan waktu yang pendek bagi seorang yang tidak terbiasa di berada rumah.
Sebagai warga negara yang baik kewajiban itu harus dilaksanakan. Selain itu, kepentingan yang lebih penting demi menjaga keselamatan orang lain, meskipun rasa bosan terus terpupuk setiap hari.
Selama 14 hari mendekam di rumah, tentu harus ada kesibukan yang harus saya lakukan. Kalau kata anak muda sekarang: biar enggak gabut. Kalau sudah gabut waktu akan banyak dihabiskan dengan tidur.
Bermain handphone setiap hari tentu sangat membosankan. Keluar rumah untuk sekadar di halaman rumah, tentu bakal menimbulkan prasangka buruk dari tetangga sekitar.
Ya, mau tidak mau selama 14 hari itu seperti orang yang dipenjara. Oleh karena itu, harus ada kesibukan lain yang harus saya lakukan, selain bermain handphone.
Akhirnya terbesit di ingatan untuk membeli buku, untuk mengisi kesibukan di rumah. Alasan utamanya: biar enggak gabut. Jadi ada kegiatan yang bisa dilakukan.
Kala itu, saat di Bandara Soekarno Hatta, waktu itu 24 Maret pagi, saya putuskan untuk membeli buku lewat toko buku online. Kalau secara offline terlalu ribet memilih bukunya.
Buku-buku yang saya beli: Teori Kritis Sekolah Frankfurt yang ditulis Sindhunata dan Inilah Esai tulisan Muhidin M Dahlan. Sebenarnya ingin lebih dari itu, tapi coba disesuaikan dengan keadaan. Targetnya, dalam jangka waktu 14 hari bakal khatam semuanya.
Karena sudah menjadi target, pagi, siang, sore, malam saya sempatkan untuk membaca buku. Agar tidak bosan, saya rotasi buku-buku yang dibaca. Seruputan kopi dan asap rokok mengiringi hal tersebut.
Rasa bosan yang biasa menyelimuti harus dihilangkan. Itu demi memenuhi target khatam selama dua minggu. Tidak mudah memang bagi seorang yang baru pemula membaca buku.
Pagi demi pagi, malam demi malam berlalu, buku yang saya targetkan khatam dalam waktu dua minggu tidak terpenuhi. Memang melenceng dari target. Tapi itu tidak menjadikan rasa penyesalan.
Satu alasan kenapa tidak khatam, dosis buku yang dibaca, saya tambah. Alasannya, merotasi dua buku masih membosankan. Maka saya putuskan untuk menambah rotasi buku lagi, menjadi empat buku.
Dua buku lain yang saya baca ialah buku Anak Rantau tulisan Ahmad Fuadi dan Aidit Dua Wajah Dipa Nusantara yang ditulis penulis Tempo.
Alhasil secara keseluruhan total keempat buku itu selesei dibaca dalam jangka waktu satu bulan. Rasa lega membekas saat buku-buku rampung dibaca.
Setelah itu, membaca buku menjadi sesuatu yang jadi kebiasaan. Dalam satu hari minimal 10 halaman harus terbaca. Targetnya tidak seperti bulan sebelumnya, kali ini cukup satu bulan dua buku rampung dibaca.
Pertanyaannya, kenapa membaca buku menjadi hal yang penting? Menurut saya, dengan membaca tentu membuka wawasan baru. Banyak sekali wawasan yang dituliskan di buku oleh si penulis.
Kedua, memperbaiki kualitas tulisan. Kalau poin yang ini sangat terbukti. Tulisan seseorang yang terbiasa membaca pasti akan mudah untuk dipahami. Yang terpenting, penulisannya benar sesuai kaidah.
Ketiga, melatih kemampuan berbicara. Dengan membaca perbendaharaan kosa kata di otak akan bertambah. Dengan begitu, saat kita berbeda kata yang kita gunakan juga bakal beragam, sehingga tidak terkesan monoton.
Ketiga hal tersebut saat ini saya merasakannya, mengantarkan pada hidup yang lebih mendingan. Membuka wawasan, kualitas tulisan, dan kemampuan berbicara.
Rasa-rasanya sangat sulit dibayangkan keadaan saat ini, kalau waktu itu minat baca saya masih rendah. Pasti saat ini, ketiga kemampuan tersebut pasti di bawah rata-rata.
Ditanya, dari mana datangnya minat baca, kalau yang saya alami dulu salah satunya juga karena faktor lingkungan. Waktu itu lingkungan organisasi mahasiswa di kampus kebetulan kebanyakan mahasiswanya suka membaca buku.
Saling berbagi terkait buku yang menarik sudah menjadi hal yang biasa waktu itu. Tak jarang saling meminjam buku menjadi budaya di organisasi tersebut.
Namun, seperti yang dialami kebanyakan orang, saat ada rasa jenuh, akhirnya buku-buku itu tidak terbaca. Terpaksa hanya menghiasi rak-rak buku di rumah.
Untuk mengatasi hal itu, saya punya cara tersendiri, yakni membuat konten audiobook. Tujuannya simpel, agar tetap ada paksaan untuk membaca buku. Di sisi lain selain menambah wawasan, juga membuat konten. Dan itu masih saya lakukan sampai saat ini.
0 Komentar