Pengaruh Gerakan Mahasiswa pada Kehidupan Bernegara

foto : mahasiswa PMII Blitar saat berunjuk rasa

Peran anak muda dalam sebuah gerakan sosial amat sangat dibutuhkan. Tajamnya pemikiran ditambah dengan besarnya ambisi membuat pikiran-pikiran alternatif sering muncul pada diri anak muda. Pemikirannya masih liar, dan juga belum matang tetapi semangat yang ditunjukkan melunturkan itu semua.

Meskipun zamannya sudah berbeda, gerakan yang dibuat oleh anak muda yang sering dilekatkan pada diri seorang mahasiswa masih sangat perlu untuk diperhitungkan. Dulu periode sebelum masa reformasi gerakan pemuda pernah memiliki sejarah yang besar. Rezim yang berkuasa selama 32 tahun bisa diruntuhkan dengan semangat juang yang besar.

Untuk saat ini, dalam masa yang serba digital, tentu kemungkinan dampak yang diberikan anak muda semakin besar pula. Kontribusinya dalam membuat pengaruh sangat diperhitungkan. Sekarang, semua produsen produk digital pasti akan berpikir apa yang sedang digemari atau menjadi trend di kalangan muda, agar produknya tetap laku di pasaran.

Di saat keadaan sudah seperti ini, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi : anak muda mempengaruhi keadaan atau keadaan yang mempengaruhi perilaku anak muda. Hal tersebut sudah pasti akan terjadi mengingat data demografi menunjukkan populasi anak muda lebih besar dibandingkan rentang usia yang lain.

Menurut data survei terbaru yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), pada survei penduduk tahun 2020 menunjukkan : Generasi Y (milenial) dan Generasi Z mendominasi populasi penduduk di Indonesia. Generasi milenial sendiri yang lahir antara rentang tahun 1981-1996 mempunyai persentase sebesar 25,87 % dari total penduduk. Ditambah lagi Generasi Z yang lahir antara rentang tahun 1997-2012 mempunyai persentase sebesar 27,94%.

Mengapa kedua generasi tersebut paling diperhitungkan ? Karena keduanya sama-sama menguasai iklim digital yang sudah ada. Pastinya keseharian mereka tidak lepas dari gadget/smartphone. Lihatlah pada kenyataannya banyak orang tua yang berguru pada anak muda perihal masalah digital. Ini merupakan salah satu bukti yang benar-benar nampak.

Dengan jumlah Generasi Y dan Generasi Z separo lebih dari jumlah total penduduk di Indonesia. Sudah menjadi keharusan apabila dengan jumlah yang begitu banyak peran perubahan yang diberikan harus amat besar.

Lebih spesifik terkait pemuda. Menurut Undang-Undang No.40 tahun 2009 pemuda adalah warga negara Indonesia yang berusia 16 sampai 30 tahun yang merupakan periode penting usia pertumbuhan dan perkembangan. Menurut hasil Survei Nasional tahun 2020, perkiraan jumlah pemuda sebesar 64,50 juta jiwa atau hampir seperempat dari total penduduk Indonesia (23,86 persen).

Namun permasalahannya saat ini, terjadi tren penurunan terhadap apa yang dilakukan oleh pemuda. Gerakan sosial yang disumbangkan pemuda melalui mahasiswa juga mengalami penurunan. Kita melihat aksi tuntutan perubahan pada roda pemerintahan sudah berkurang jika dibandingkan periode lampau.

Hal itu diperparah keberadaan media sosial. Kita tidak asing anak muda lebih gemar bermain Tik tok daripada mendiskusikan permasalahan di dalam negara. Kita juga tidak asing melihat Instagram penuh dengan postingan yang tidak mendidik. Parahnya yang membuat adalah para pemuda atau mahasiswa.

Kita lupa kenikmatan yang diberikan setelah masa reformasi ternyata tidak bisa digunakan dengan baik. Tidak terbayangkan apabila Orde Baru masih berkuasa hingga saat ini. Represifitas terjadi di mana-mana. Kebebasan berekspresi dibatasi. Ditambah lagi sulitnya untuk mendapatkan informasi. Selain itu, mau berkumpul saja susah, apalagi untuk bersuara lantang menyuarakan kritik kepada pemerintah.

Kejadiannya sekarang, kontrol sosial dari pemuda terkesan hanya temporal, hanya pada saat waktu-waktu tertentu. Dan ada kesan hanya ikut-ikutan saja. Dengan jumlah yang besar sangat mubazir jika tidak dapat mengontrol keadaan di negara ini.

Kita dapat berkaca dari keadaan demonstrasi Omnibus Law yang kemarin. Pada bulan Oktober 2020 sangat gencar para mahasiswa melakukan aksi unjuk rasa di mana-mana. Akan tetapi keberlanjutan aksi tersebut tidak ada, tekanan yang diberikan kepada pemerintah juga hanya berlangsung sesaat. Akhirnya undang-undang sapu jagad tersebut juga tetap disahkan oleh DPR.

Pada waktu itu ada sesuatu yang berbeda dibandingkan aksi 22 tahun yang lalu, saat aksi tahun 98. Di mana adanya internet sangatlah membantu dalam memberikan informasi dan membuat agitasi untuk mengubah keadaan.

Kita bisa dengan mudah mendapatkan informasi tentang Omnibus Law. Di mana saja tempat diselenggarakannya aksi. Ataupun informasi yang lain. Keadaan inilah yang tidak ada pada tahun 98.

Seharusnya dengan adanya kelebihan di era digital ini. Gerakan perubahan sosial bisa lebih masif lagi dibandingkan dahulu. Berbekal kemampuan mahasiswa yang sangat beragam, kemudian disalurkan sesuai dengan bakatnya untuk memberikan dampak kepada negara.

Pada titik ini, perubahan sosial bisa dilakukan dengan bermodalkan genggaman tangan. Selain itu juga tidak memerlukan jumlah massa yang banyak. Perubahan sosial sudah bisa dilakukan oleh orang-orang dengan tangan kreatif dengan pemikiran dan gagasan yang besar.

Tentu sudah tidak asing lagi dengan pemberitaan hacker yang meretas situs-situs penting. Atau ulah yang dilakukan oleh buzzer untuk mempropagandakan sesuatu. Itu adalah bukti betapa kuatnya pengaruh yang diberikan oleh anak muda ketika berkecimpung di dunia digital.

Kalau sudah begitu, peranan gerakan perubahan sosial seharusnya bisa semakin besar untuk terwujud. Adanya internet untuk mempermudah akses dan membagikan informasi yang dikolaborasikan dengan aksi nyata dalam bertindak kemungkinan akan menghasilkan sesuatu sangatlah besar.

Jawaban yang harus dilakukan sekarang, mahasiswa harus mempunyai arah gerakan yang jelas. Utamanya gerakan sosial. Karena gerakan itu langsung bersinggungan dengan realita di masyarakat, serta mampu mengubah tatanan yang sudah berjalan dengan mapan.

Dengan dukungan internet dan sumber daya yang mumpuni. Gerakan perubahan sosial bukan sesuatu yang sulit. Saat dilakukan dengan kerjasama yang baik antar sesama, gerakan itu mampu mewujudkan manfaat yang bisa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Mahasiswa harus menentukan arah perlawanan. Jika bukan mahasiswa siapa lagi yang berani memberikan gebrakan pada mereka yang menginginkan status quo. Status itulah yang menyebabkan negara ini tidak berjalan dinamis, dan cenderung statis. Jika hal ini terus dibiarkan, pembangunan daya manusia tidak akan berjalan dengan maksimal.

Posting Komentar

0 Komentar