Di negeri yang masyarakatnya sering dilanda trauma. Membicarakan isu-isu sensitif sangatlah rawan untuk dibicarakan. Selain dapat disangka bahwa kita sebagai penyampai pesan dikatakan terlibat, selain itu yang diajak bicara juga tidak mau mendengarkan.
Sebenarnya apa salahnya saat kita membicarakan topik terkait Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dituduh sebagai dalang tragedi G30S. Bukan berarti saya membela, akan tetapi terdapat sisi menarik yang sebenarnya perlu untuk digali. Sejarah adalah rangkaian cerita yang diulang-ulang, alangkah baiknya kita untuk meneladaninya. Maka dari itu, sejarah bukan cerita yang tak boleh didengarkan sama sekali.
Seperti halnya buku yang ditulis oleh tim Tempo, para awak redaksi mencoba mengangkat tokoh yang telah disingkirkan oleh sejarah. Pasalnya tokoh tersebut tergolong sebagai orang yang kalah dalam pergulatan sejarah republik ini.
Pembaca tentu tidak asing dengan tokoh DN Aidit, sebagai dedengkot PKI. Ataupun Ahmad Yani, yang tewas pada saat Tragedi G30S. Tapi siapa yang mengetahui lebih dalam tentang sosok bernama Njoto.
Lelaki keturunan ningrat dan bergaya necis itu hidup tidak seperti tokoh komunis yang lain. Disaat tokoh tokoh komunis lebih menonjolkan proletarnya, ia justru tampil necis dengan sedikit dandy ala masa kini. Singkatnya Njoto lebih borjuis.
Nampaknya sematan nama Njoto tidak sesuai dengan apa yang ia lakukan sehari-hari. Pria yang lahir pada 1927 ini sangat piawai bermain berbagai alat musik, seperti biola, saxophone, yang selalu identik dengan kaum borjuis.
Dalam buku Nyoto Peniup Saxophone di Tengah Prahara, dikatakan, dia menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang kapitalis harus selalu dimusuhi. Sekali lagi, ia adalah sisi lain dari Gerakan G30S tahun 65 yang jarang orang yang mengetahuinya.
Kecerdasannya waktu itu dapat diakui, bagaimana mungkin pria yang baru berusia 16 tahun bisa masuk KNIP, dan menjadi perwakilan PKI, kalau bukan karena kepiawaiannya, padahal persyaratan minimum adalah 18 tahun.
Kemudian saat pecah Tragedi Madiun, tokoh partai komunis kocar-kacir, berusaha menyelamatkan diri. Setelah itu dirinya menjadi tulang punggung PKI bersama dua kawannya yang lain. Aidit dan Lukman. Ketiganya dijuluki sebagai seorang three musketeers. Dari pemikiran ketiganya juga orientasi partai komunis digodok, hingga menjadi salah satu partai yang besar.
Njoto juga didaulat menjadi pemimpin redaksi Harian Rakyat yang menjadi koran dengan oplah yang sangat besar waktu itu. Selain itu ia juga menjadi salah satu penggagas dari lembaga kebudayaan rakyat (Lekra) yang nantinya dilarang saat Orde Baru berkuasa.
Dan yang mungkin sedikit orang tahu adalah Njoto orang yang sering menuliskan teks pidato dari Bung Karno. Kedekatannya dengan Bung Karno bahkan melebihi kedekatan Aidit dengan sang proklamator ini. Bahkan saking dekatnya, Aidit pernah berseteru dengan Njoto. Hal itu disebabkan Noto ikut menyebarkan paham soekarnoisme.
Saat Tragedi G30S meletus namanya hilang bak ditelan zaman. Semua orang yang berkaitan dengan partai komunis diberangus oleh militer. Orang-orang yang tidak bersalah turut menjadi korban keganasan dari kekuasaan orde baru yang mulai menginjakkan kakinya.
Tersiar kabar, waktu itu Njoto terus melakukan pelarian, untuk menghindari kejaran para aparat. Keluarganya pun ditinggalkannya untuk menyelamatkan diri masing-masing. Di dalam buku ini dikatakan, menjelang tragedi G30S hubungan Njoto dan Aidit memang merenggang, bahkan Njoto tidak diajak dalam rapat partai komunis.
Akhir dari riwayat perjalanan hidupnya tuh sampai saat ini masih buram, belum ada kepastian jenazahnya saat ini di mana ataupun seperti apa kematiannya.
Judul : Njoto Peniup Saksofon di Tengah Prahara
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Cetakan : 2010
ISBN : 9789799102683
0 Komentar