Banyak aktivis yang mempunyai peran besar saat menggulingkan Orde Soeharto. Salah satu dari aktivis yang mempunyai andil besar adalah Wiji Thukul. Namanya tidak setenar Gus Dur, Amien Rais ataupun Megawati, tapi jangan salah perannya sangat penting untuk ikut membantu aktivis yang lain bergerak.
Hidup dengan keadaan yang sederhana, pria yang mempunyai nama asli Wiji Widodo itu tidak sampai lulus SMA. Ia keluar, lalu memilih bekerja untuk membantu kehidupan keluarganya, bekerja sebagai tukang plitur di sebuah mebel.
Kemampuan menyairnya mulai terendus saat bergabung dengan teater jagat. Di teater itulah gurunya memberi nama "Thukul". Sehingga namanya menjadi Wiji Thukul. Kemampuan menyairnya sempat diragukan, pasalnya ia cadel, tidak bisa bilang r.
Tetapi kekurangan tersebut ia tutupi dengan kemampuan membuat puisi yang luar biasa. Kemampuan itu ditunjang dengan hobinya membaca buku. Dalam teater jagat ia adalah siswa yang paling rajin menulis puisi. Sebagian puisinya dikirimkan ke media cetak.
Setelah merasa nyaman dengan hobinya bergelut di dunia puisi, Wiji thukul memutuskan untuk resign dari pekerjaannya sebagai tukang plitur. Dirinya melanglang buana ke berbagai daerah untuk mengamen.
Wiji mulai terjun ke politik praktis pada tahun 1996, waktu itu dia menerima tawaran dari partai rakyat demokratik (PRD) yang menginginkan Jaker (organisasi kumpulan para seniman, yang ia pimpin) menjadi bagian dari PRD. Ia membacakan puisinya yang berjudul "Peringatan" pada saat deklarasi PRD di depan hadirin yang datang.
Seminggu setelah tragedi Kudatuli, Juli 1996. Namanya menjadi buronan aparat, ia dan kawan-kawannya dalam PRD dianggap sebagai jalan dibalik kerusuhan tragedi kudatuli. Buntut dari kejadian itu, Wiji berpindah ke banyak tempat untuk mengamankan diri dari kejaran aparat.
Menggunakan nama samaran, memakai atribut pakaian, dilakukannya untuk mengelabui orang lain. Penyamarannya tergolong berhasil, sebab ia juga dibantu oleh teman-temannya yang juga golongan pro demokrasi. Bahkan sesekali ia masih bisa bertemu dengan istrinya yang bernama Sipon, serta kedua anaknya yang masih kecil, Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah.
Dalam buku ini, berdasarkan liputan yang dilakukan oleh Tempo, kabar terakhir Wiji Thukul ada pada bulan Mei 98, persis sebelum Soeharto lengser. Setelah orang terdekatnya mengira Wiji masih bersembunyi dan akan menampakan lagi. Namun berhubung tidak ada kabar. Keluarga melaporkannya ke Kontras pada tahun 2000.
Wiji diduga menjadi salah satu korban penghilangan paksa bersama 12 aktivis lainnya yang saat ini masih belum jelas keberadaannya. Memori kelamnya menjadi pelajaran berharga yang tidak boleh terulang kembali. Potret seorang laki-laki kurus dan cadel, yang rela memperjuangkan rakyat kecil untuk mendapatkan keadilan. Namanya masih teringat di kepala sebagai salah satu aktivis pro demokrasi 98.
Edisi khusus yang dibuat oleh Tempo merupakan sebuah ikhtiar jurnalistik yang luar biasa. Meskipun tidak luput dari kekurangan dan kelebihan, buku ini memberikan referensi tentang peristiwa-peristiwa di sekitar Mei 98 yang segelintir orang mengetahuinya.
Judul : Wiji Thukul Teka-teki Orang Hilang
Penulis : Tim Tempo
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
Terbit : 2013
Halaman : 160 halaman
ISBN : 9789799105929
0 Komentar