Andaikan Dosenku Seorang Filsuf

Dua hari yang lalu saya bersitegang dengan salah satu tenaga pengajar. Lebih tepatnya seorang dosen. Terjadi adu pendapat, pro maupun kontra, serta tuduhan yang terlontar. Kejadian itu bukan tanpa sebab. Di latar belakangi kejadian lama yang diungkit hingga sekarang.

Persoalan yang dipermasalahkan sebenarnya sepele. Tentang sistem pembelajaran yang diajarkan di dalam kampus. Sebuah sistem yang melibatkan mahasiswa maupun dosen dalam kegiatan perkuliahan. Tidak hanya satu semester, namun sistem itu mengatur selama mahasiswa menempuh bangku perkuliahan di tempat tersebut.

Ketika saya melakukan pembicaraan, beliau mengatakan bahwa sistem ini sudah dibuat 3 tahun yang lalu. Mata kuliah yang harus ditempuh mahasiswa harus sesuai dengan sistem yang diberlakukan. Tidak bisa menambah ataupun mengurangi. Kalaupun melanggar dapat mengancam kelulusan mahasiswa.

Istilah yang sering digunakan adalah mata kuliahnya sudah paketan. Sehingga fungsi dari KRS menjadi berkurang. Bahkan, saya berani mengatakan bahwa KRS hanya formalitas semata.

Saya sendiri adalah tipe orang yang melakukan segala sesuatu atas dasar suka sama suka. Jadi tidak ada pihak yang merasa dirugikan atas hal-hal yang akan dilakukan. Dalam hal ini dosen maupun seorang mahasiswa.

Memang dalam mata kuliah yang ditentukan oleh dosen dalam perkuliahan ada sejumlah pertimbangan yang menjadi landasan keputusan. Tapi, bagi saya alangkah baiknya jika seorang mahasiswa juga dilibatkan dalam proses tersebut.

Dalam kasus yang saya alami. Saya mencoba memilih mata kuliah yang ingin saya tempuh. Sayangnya tidak ada kesepakatan yang terjalin, dosen tetap kekeh, dengan patokannya itu. Tidak bisa diubah.

---

Saya berpendapat, bahwa sesuatu yang berlandaskan pemaksaan itu tidak baik. Tidak akan maksimal. 

Setiap zaman mempunyai karakter yang berbeda-beda. 5 tahun yang lalu berbeda dengan saat ini. Hal ini juga berlaku dalam pembelajaran.

Kita tahu, 10 tahun yang lalu internet tidak semasif saat ini. Teknologi seperti handphone dahulu jarang yang memiliki. Namun sekarang anak kecil pun sudah mempunyainya.

Berangkat dari hal kecil, alangkah baiknya saat ini laporan menggunakan sistem yang menggunakan teknologi. Misalnya menggunakan video, tanpa harus menggunakan teks laporan yang terlalu rumit.

Seharusnya, perdebatan-perdebatan yang terjadi di bangku kuliah merupakan hal biasa. Apalagi saat membicarakan masalah sistem. Setiap tahun harusnya ada evaluasi terhadap sistem yang diberlakukan. Setiap kampus harusnya bisa menentukan pilihannya sendiri, tidak berpatokan pada kampus lain.

Karakter setiap mahasiswa berbeda, kemampuan setiap mahasiswa juga berbeda. Agar semua dapat berlangsung secara maksimal, kesepakatan kedua belah pihak adalah jalan tengah untuk menyelesaikan masalah.

Sistem kurikulum yang diberikan harusnya bisa lebih diperlonggar. Mahasiswa dibebaskan memilih apa yang mereka inginkan, dan ingin mereka kembangkan.

Mahasiswa bukan lagi anak kecil yang harus dituntun dan dipaksa. Ingat, sistem yang diterapkan dalam dunia pendidikan bukan kebenaran yang mutlak. Masih ada kekurangan yang harus dibenahi. Kekurangan itu harus ditambal agar tidak menjadi buntut permasalahan.

"Guru bukan dewa, dan murid bukan kerbau,"

- Soe Hok Gie

Kutipan tersebut layaknya tepat diterapkan saat ini. jika kita melihat tenaga pengajar yang tidak mau melihat apa yang diinginkan oleh muridnya. Tentu, dalam hal ini masih dalam koridor kebaikan.

Semoga saja ada perbaikan sistem dalam negeri ini. Agar mimpi generasi emas Indonesia tidak hanya menjadi bualan semata.

"Perbedaan antara guru sekolah dan filsuf adalah bahwa guru sekolah mengira mereka tahu banyak hal yang mereka coba paksakan masuk ke tenggorokan kami. Filsuf berusaha untuk memahami segala sesuatu bersama murid-murid mereka" - Dunia Sophie






Posting Komentar

0 Komentar