Melihat betapa masih ketergantungannya negara ini terhadap asing, tentu sebagai warga negara yang patriotik terhadap negaranya kita dibuat geleng-geleng kepala. Buku-buku pelajaran yang disajikan sejak bangku sekolah dasar selalu saja menyantumkan negara Indonesia sebagai negara agraris. Istilah yang mungkin perlu direvisi penerbit buku untuk saat ini.
Istilah menggelikan yang masih digaung-gaungkan hendaknya menjadi tamparan keras bagi pemerintah, bahwa sesungguhnya yang dituliskan selama ini hanya isapan jempol belaka. Dahulu, negara ini pernah melakukan swasembada pangan, namun tidak untuk saat ini. Negara yang dahulu hijau kini lambat laun mulai luntur digoyang industri pabrik dan pertambangan.
Sebelum Hindia Belanda berubah menjadi Indonesia, tanah-tanah pribumi tidak seutuhnya dimiliki orang dalam negeri. Agraria yang potensial, dahulu menjadi komoditas panas yang diperebutkan negara-negara imperialis yang datang di nusantara.
Zaman Raffles
Misalnya Raffles, seorang yang saat ini mungkin lebih tepatnya bekerja di kantor perpajakan. Dahulu, ketika menjadi gubernur jenderal Hindia Belanda, ia menerapkan kebijakan sistem sewa tanah. Di mana setiap tanah yang ada adalah milik negara. Jadi setiap penduduk harus membayar pajak kepada negara.
Di bawah kepemimpinan Raffles penduduk Indonesia dapat dikatakan kurang sejahtera. Mau sejahtera bagaimana jika masih di bawah kekuasaan orang lain, yang notabene bukan orang pribumi.
Kebijakannya dianggap gagal. Ada empat penyebab kegagalannya : pertama, kekurangan peralatan administrasi. Kedua, pejabat-pejabat menggelapkan uang. Ketiga, petani lebih memilih menanam padi, daripada kopi atau nila. Keempat, Raffles sulit mengendalikan sistem.
Dengan label gagal yang sudah tersemat di dadanya, Raffles akhirnya meninggalkan Bumi Pertiwi.
Zaman Van den Bosch
Setelah Raffles yang datang dari kantor perpajakan meninggalkan Hindia Belanda, datanglah seorang yang berlagak seperti debt colector. Van den Bosch adalah nama pria tersebut. Dia memaksakan penduduk Hindia Belanda waktu itu untuk menanam kopi, nila, dan gula.
Van den Bosch membuat kebijakan yang licik yaitu dengan cara menggratiskan sewa tanah apabila petani menanam tiga tanaman di atas.
Andaikan petani menanam di luar tanaman kopi, nila, dan gula. Maka diharuskan untuk membayar pajak.
Tanaman kopi, nila dan gula dibeli murah oleh Van den Bosch dan kawan-kawannya. Akibatnya di Semarang banyak orang yang yang mati kelaparan gara-gara sistem tanam paksa.
Zaman Orde Baru
Pada saat zamannya pak Harto Indonesia pernah menyandang swasembada pangan. Hasil pertanian Indonesia sangat melimpah. Pada saat awal tahun 80-an, pak Harto pernah membuat kebijakan revolusi hijau. Kebijakan itu membuat Indonesia pernah dianugerahi penghargaan oleh FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia).
Berubahnya sistem pertanian dari tradisional menuju modern membuahkan hasil yang signifikan. Tahun-tahun itu beberapa pabrik pupuk berdiri di Indonesia. Banyak orang yang tidak mempunyai pekerjaan akhirnya mendapatkan pekerjaan untuk bekerja di pabrik pupuk. Tapi, di sisi lain terdapat dampak yang ditimbulkan. Perubahannya mencangkup penggunaan bahan-bahan organik ke bahan-bahan kimia.
Hal itu menjadi penyebab kerusakan lahan pertanian yang terjadi di beberapa tempat. Pupuk dan pestisida kimia sangat praktis digunakan. Tapi juga sangat membahayakan baik manusia maupun makhluk yang lain.
Sekarang
setelah mengetahui dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia. Dewasa ini pemerintah mencoba mengubah sistem pertanian menuju organik. Istilah-istilah seperti go organik mulai digencarkan. Hal ini menjadi jawaban atas segala permasalahan yang selama ini terjadi. Kita semua menyadari produksi yang besar tidak sebanding dengan kerusakan alam.
Bertani organik mengharuskan para petani untuk menggunakan bahan organik dan meminimalisir sekecil mungkin penggunaan bahan kimia. Harapannya lahan-lahan yang rusak, air-air yang tercemar dapat kembali seperti semula.
Banyak teori yang mempelajari mengenai pertanian organik. Para petani organik juga sudah banyak yang bermunculan. Mereka mengemban misi lingkungan dan kesehatan. Demi masifnya pertanian organik, mereka rela memberikan pelatihan kepada para petani baru untuk memberikan edukasi.
Saya meyakini pemerintah dilanda kebingungan. Pentingnya menjaga lingkungan, tapi di sisi lain produksi pupuk kimia juga mempunyai andil yang besar. Berapa banyak karyawan yang harus dikorbankan jika pemerintah menutup pabrik pupuk kimia. Berapa banyak distributor dan agen yang harus gulung tikar andaikan pupuk kimia dihilangkan.
Sebagai masyarakat biasa kita hanya bisa menjadi penikmat. Tapi juga tidak boleh apatis terhadap realitas yang ada. Realisasi memperbaiki lingkungan dan menjaga kesehatan sudah menjadi tanggung jawab setiap individu. Tidak perlu terlalu bergantung kepada pemerintah.
1 Komentar
Matappppp
BalasHapus