Ketika Negara ini masih belum merdeka, Gubernur Jenderal Raffles memandang semua tanah sebagai milik raja-raja Jawa karena raja-raja telah mengakui kedaulatan negara Inggris. Waktu itu Raffles menerapkan kebijakan sewa tanah. Namun, Kebijakannya waktu itu gagal.
Ada empat penyebab kegagalannya. Pertama, kekurangan peralatan administrasi. Tidak semua pejabat bisa membaca dan menulis. Kedua, Pejabat-pejabat menggelapkan uang. Ketika diberi kebebasan petani lebih memilih menanam padi daripada kopi atau nila. Keempat Raffles sulit mengendalikan sistem. Raffles meninggalkan tanah Jawa pada tahun 1816 setelah pulau tersebut dikembalikan oleh Inggris kepada Belanda.
Setelah itu muncul van den Bosch, dengan gagasan cultuurstelsel. Tujuannya untuk membuat Jawa sebagai aset yang bernilai dengan menghasilkan sebanyak mungkin kopi, gula dan nila dengan biaya produksi yang serendah mungkin. Sewa tanah tidak diberlakukan andaikan rakyat menanam tanaman tersebut dan menjualnya ke pemerintah dengan harga yang murah.
Sistem tanam paksa mengakibatkan perubahan pola penguasaan tanah di desa-desa Jawa pada waktu itu, tanah yang semula digarap secara individu kini menjadi milik bersama orang-orang desa.
Di bawah sistem tanam paksa pada Van den Bosch secara jelas memilih tergantung pada kekuatan kaum elit lokal yang ada untuk mencapai tujuan-tujuannya tidak peduli apapun kerugian yang ditimbulkan bagi para petani.
Dampak yang diakibatkan oleh sistem tanah paksa juga besar. Di Semarang pada tahun 1800-an terjadi bencana kelaparan yang diduga mengakibatkan 200 ribu korban meninggal atau terpaksa pindah ke daerah lain. Hal tersebut menjadi halaman hitam dalam sejarah pemerintahan Belanda di tanah Jawa. Sistem tanah paksa menciptakan kekuasaan yang otoriter pada tingkat atas dan kesengsaraan pada kalangan rakyat.
Pada buku "Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup" juga dijelaskan pada tahun 1870 agrarische wet atau undang-undang agraria berhasil dilahirkan. Tujuannya untuk menjamin persediaan tanah bagi perusahaan-perusahaan Belanda dan untuk mempertahankan hak penduduk asli. Undang-undang itu berjalan cukup lama, hingga akhirnya muncul undang-undang yang baru.
Setelah berkali-kali usaha dilakukan oleh berbagai panitia akhirnya DPR gotong royong menyetujui suatu undang-undang agraria yang baru pada tahun 1960. Pada awal Desember 1963 Wolf Ladenjinsky kembali ke Jakarta dan selama 3 bulan melakukan perjalanan ke sejumlah desa di Jawa dan Sumatera Selatan untuk mengamati secara langsung dari tangan pertama pelaksanaan land reform di Indonesia.
Akhirnya segera setelah undang-undang pokok agraria diundangkan pada 4 Oktober 1960, pemerintah mengeluarkan peraturan pengganti undang-undang nomor 38 tahun 1960 untuk menjamin tersedianya tanah untuk perkebunan-perkebunan negara. Dapat dikatakan bahwa land reform hanya sebagai suatu simbol untuk suatu hal yang kenyataannya tidak selesai.
Perbedaan dalam pemilikan tanah dan penyusutan luas tanah yang dimiliki terus berkembang. Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan polarisasi yang terus meningkat antara mereka yang kaya dan yang miskin di desa-desa. Lagipula, luas tanah yang dimiliki sejak semula rata-rata sudah kecil yaitu antara 0,5 dan 1 hektar.
Pada abad 19. Dahulu sebelum zaman penjajahan, penduduk desa diizinkan untuk menggarap tanah bersama dengan syarat melakukan kewajiban-kewajiban tertentu seperti ronda malam, membangun gedung-gedung dan lain-lain. Oleh sebab itu banyak pengrajin terus pedagang yang ogah menggarap lahan karena dibebani dibebani beberapa kewajiban.
Selain itu di dalam buku juga dijelaskan mengenai beberapa payung hukum. Menurut jurespudensi, pengadilan tidak berwenang untuk membatalkan putusan kerapatan desa yang didasarkan atas hukum adat. Persoalan hukum adat menjadi topik pembicaraan yang hangat saat terjadi sengketa lahan di beberapa tempat.
Dikatakan, sepanjang orang masih hidup, dia dapat memberikan penguasaan kepada siapapun yang dia inginkan, tetapi jika ia meninggal, penguasaan akan dikembalikan kepada desa, dimana status tanah ditetapkan.
Pada sistem sewa tanah orang-orang tidak diperbolehkan menguasai tanah yang luasnya melebihi jumlah maksimum yang diperbolehkan oleh undang-undang pokok agraria tahun 1960. Yaitu 5 hektar sawah atau 6 hektar tegalan.
Penguasaan tanah yang luas oleh dua sampai tiga orang adalah bentuk dari undang-undang pokok agraria tahun 1960 yang menetapkan suatu batas maksimum jumlah tanah yang boleh dikuasai oleh seseorang.
Telah menjadi suatu rahasia umum bahwa banyak penduduk kota memiliki tanah di daerah pedesaan walaupun jumlah yang pas tidak diketahui. Hal ini bertentangan dengan ketentuan UU pokok agraria yang melarang pemilikan tanah secara absentee. tanah para pemilik absentee dapat diperoleh negara untuk dibagikan kembali kepada para petani yang tidak mempunyai tanah.
Buku ini sangat direkomendasikan bagi pembaca yang ingin mencari referensi mengenai agraria. Meskipun berasal dari disertasi, pembahasan yang disajikan sangat menarik. Namun untuk penyebutan dua desa sebagai bahan penelitian namanya disamarkan.
Judul : Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup
Penulis : Erman Rajagukguk
Penerbit : Chandra Pratama
Cetakan : 1995
Tebal : 207 halaman
ISBN : 9796540002
0 Komentar