Mereka yang berprestasi memang sudah dari sono-Nya atau sejak dia dilahirkan. Mereka sudah pintar sejak di dalam kandungan ibu. Istilah menggelikan itu sudah melekat di kepala kebanyakan orang.
Orang dilahirkan di dunia dengan nasib yang berbeda-beda, ada yang lahir dari keluarga konglomerat, keluarga sederhana atau malah keluarga miskin. Saya tidak setuju apabila persoalan nasib dari lahir menjadi alasan yang mutlak untuk menghakimi peristiwa. Masih ada banyak hal yang mengubah orang bodoh menjadi pandai, ataupun orang tidak tahu menjadi tahu.
Dari pengalaman yang saya alami, umur 7 tahun saya telah dikenalkan dengan bangku sekolah dasar. Tahap awal pendidikan di negeri ini. Pada tahap ini sudah dikenalkan kegiatan membaca dan menulis. Pada saat itu, yang saya alami, masih ada beberapa teman yang belum bisa mengeja kata dengan benar. Sesuatu yang dapat dimafhumi waktu itu--media pembelajaran masih sangat terbatas.
Di zaman sekarang membaca dan menulis sudah dikenalkan sejak PAUD (dua tingkat dibawah SD). Maka tidak mengherankan apabila anak di bangku SD sudah lancar membaca maupun menulis. Selain itu angka buta aksara di Indonesia juga menunjukkan indikasi yang positif, setiap tahunnya mengalami penurunan.
Menurut survei yang dilakukan BPS tahun 2018 terdapat 3,2 juta orang Indonesia yang buta aksara, jumlah ini menurun dibandingkan tahun 2017 yang jumlahnya 3,4 juta orang. Meskipun penurunannya hanya dua ratus ribu, jumlah ini akan terus mengalami penurunan seiring semakin majunya akses untuk menggiatkan membaca.
Lantas sekarang pertanyaannya, apakah mereka yang sudah divonis “tidak” buta aksara sudah mensyukuri nikmatnya?
Silahkan bertanya pada diri Anda masing-masing !
Menurut Central Connecticut State University (CCSU) yang dirilis pada Maret 2016, Indonesia berada di urutan 60 dari 61 negara yang disurvei mengenai tingkat literasi. Predikat yang sangat memalukan bagi negara yang pernah dijuluki macan Asia.
Berkaca pada realitas yang ada, setiap tempat untuk mengenyam pendidikan formal sudah tersedia perpustakaan yang memfasilitasi perihal literasi. Setiap kota pun juga demikian. Di jalan juga terdapat perpustakaan jalanan yang siap menyediakan fasilitasnya perihal literasi.
Sekarang media untuk membaca dan menulis semakin bertambah banyak. Kalau dahulu hanya melalui medium kertas. Namun, sekarang sudah ada teknologi digital. Sejak teknologi digital berkembang pesat, buku-buku elektronik dan aplikasi pencatat tulisan banyak bermunculan. Lagi-lagi, pilihan untuk dipilih semakin banyak jenisnya. Semua kembali kepada diri kita mau atau tidak memanfaatkannya dengan baik.
0 Komentar