Tiga tahun setelah reformasi tahun '98, ranah politik Indonesia sempat dilanda pergolakan. Tepatnya tahun 2001. Saat itu terjadi perpindahan kekuasaan dari Gus Dur ke Megawati. Ada pihak yang mengatakan pergantian presiden tersebut dilakukan dengan cara yang konstitusional dan ada juga yang mengatakan inkonstitusional. Terlepas dari kedua hal tersebut terdapat sisi kelam yang pernah dialami negeri ini.
Banyak konflik yang terjadi selama proses sebelum dan sesudah sidang istimewa (sidang yang dilakukan MPR untuk menurunkan Gus Dur). Terutama di Jawa Timur yang merupakan basis orang-orang Pro Gus Dur.
Jawa Timur dinilai sebagai provinsi yang rentan terhadap persoalan buruh, tanah dan petani. Sering terjadi kerusuhan yang muncul akibat ketiga hal tersebut. Namun pada tahun 2001 konflik bergeser dengan dimensi yang beragam dan rumit. Persoalannya dimulai dari masalah politik.
Desakan Amien Rais selaku Ketua MPR saat itu kepada Gus Dur untuk turun dari jabatannya sebagai presiden menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat Jawa Timur. Seperti yang sudah diketahui sebelumnya, Gus Dur merupakan mantan Ketua Umum PBNU dan Amin Rais sebagai mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah.
Letupan-letupan kecil dari pendukung Gus Dur mulai muncul ketika pemerintahannya mendapat kritik dari DPR. Mulai saat itu terjadi pergolakan massa di Jawa Timur. Memasuki periode akhir tahun 2020, di Pasuruan massa pro Gus Dur konvoi menuntut Amin Rais (Ketua MPR) dan Akbar Tanjung (Ketua DPR) untuk mundur dari jabatannya. Mereka juga meminta masyarakat untuk mewaspadai HMI Connection yang terdapat di ICMI, Habibie Centre, KAHMI, Fraksi Reformasi dan Fraksi Golkar.
Situasi mulai memanas menjelang diumumkannya hasil Pansus Buloggate dan Bruneigate yang disusul memorandum 1 untuk Presiden Gus Dur dalam sidang pleno DPR pada 1 Februari 2001. Gus Dur dinilai melanggar UU mengenai korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pada 3 Februari 2001, massa pendukung Gus Dur, di tiga daerah, Situbondo, Bondowoso dan Surabaya secara serentak turun ke jalan menentang memorandum. Massa di Situbondo menebang pohon hingga sekitar 5 KM yang menyebabkan transportasi Situbondo-Banyuwangi lumpuh total. Selain itu, mereka juga membawa spanduk hujatan kepada Amien Rais dan Akbar Tanjung yang dianggap sebagai biang kerok seluruh persoalan bangsa Indonesia.
Tanggal 4 Februari 2001, ribuan pendukung Gus Dur di Pasuruan memblokade jalur Surabaya-Malang tepatnya di Simpang Purwosari, Pasuruan. Mereka meminta Partai Golkar dibubarkan karena dianggap sebagai sisa orde baru.
Sejak saat itu aksi sporadis mulai mengarah kepada teror dan pengrusakan terhadap tokoh dan aset milik Muhammadiyah. Segala sesuatu yang termasuk amal usaha Muhammadiyah menjadi sasaran. Aksi tersebut selalu dibarengi kecaman terhadap Ketua MPR Amien Rais yang juga mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah. Karena itu setiap ada pernyataan keras dari pak Amien terhadap Gus Dur di media selalu disambut dengan tindakan anarkis terhadap Muhammadiyah.
Bahkan massa pro Gus Dur ada yang menyatakan dirinya siap membela mati-matian. Barisan tersebut menamakan diri Pasukan Berani Mati. Ada yang lebih ekstrim lagi, dengan menyatakan apabila sidang istimewa tetap dilaksanakan, Jawa Timur akan memisahkan diri dari Indonesia. Namun, untuk masalah pemisahan dari Indonesia batal masuk deklarasi front pendukung Gus Dur.
Pada 6 Februari 2001, massa pendukung Gus Dur di Jawa Timur terus saja melakukan aksi. Bahkan kali ini lebih panas. Massa menutup penyebarangan kapal Ketapang-Gilimanuk yang menyebabkan transportasi lumpuh selama tujuh jam. Pada waktu yang bersamaan di sepuluh kota terjadi aksi yang mengarah kepada teror dan pengrusakan bangunan milik amal usaha Muhammadiyah.
Selain itu gedung-gedung Golkar juga menjadi sasaran massa. Tak luput juga rumah-rumah warga diberi tanda silang untuk meluapkan kekecewaan massa pro Gus Dur terhadap parlemen.
Bangunan amal usaha Muhammadiyah yang menjadi sasaran pengrusakan seperti : Perguruan Tinggi, SLTA, Masjid, Kantor-kantor Muhammadiyah, Panti Asuhan, hingga TK. Hal tersebut membuat trauma, terutama anak-anak kecil. Jumlah kerugian yang diderita mencapai ratusan juta rupiah.
Dari pihak Nahdhatul Ulama sudah beberapa kali menawarkan ganti rugi sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan oleh massa pro Gus Dur.
Buku ini sebenarnya hanya diperuntukkan untuk orang-orang Muhammadiyah. Atau dalam istilah yang tertera di dalam buku"Untuk Kalangan Sendiri". Namun, saya kira karena isinya harus diketahui banyak orang sebagai tambahan referensi mengenai sejarah, saya memilih untuk tetap meresensi. Selain untuk penilaian buku, juga sebagai bahan bacaan yang ringkas. Buku-buku seperti ini memang sulit didapatkan, sehingga untuk membacanya saja harus mendapatkan akses kepada orang-orang yang memiliki bukunya.
Pada saat membaca buku sejarah, sangat dianjurkan untuk membaca dari berbagai sumber. Karena, kita akan memperoleh berbagai sudut pandang. Sehingga tidak ada penghakiman sepihak terhadap suatu peristiwa yang sudah terjadi di masa lampau.
Judul Buku : Muhammadiyah Korban Kekerasan Politik
Penulis : Ainur R. Sophian, Faaisol Taselan, Nadjib Hamid
Penerbit : Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur
Cetakan : Cetakan 1, Januari 2002
0 Komentar