Pertanian organik merupakan kegiatan bertani yang mengedepankan keserasian tiga faktor : lingkungan, ekonomi serta sosial/kesehatan. Sering kali ditemukan saat salah satu faktor berkembang maka faktor yang lain terusik. Misalnya, ketika faktor ekonomi berkembang, biasanya akan mengganggu keseimbangan lingkungan dan sosial. Begitu juga sebaliknya.
Petani di Indonesia masih terobsesi gerakan "revolusi hijau", yang mengandalkan asupan bahan kimia sintetis baik pupuk maupun pestisida dalam bertani. Tujuannya adalah untuk mencapai produksi setinggi-tingginya tanpa memikirkan kerusakan lingkungan dan kesehatan konsumen. Penelitian menunjukkan residu pestisida yang terdapat pada komoditi pertanian sangat membahayakan kesehatan konsumen.
Pada era tahun 80-an Indonesia berkeinginan untuk swasembada pangan dengan cara menggalakkan penggunaan bahan kimia sintetis, yang ditunjang dengan subsidi yang besar serta promosi gencar oleh pengusaha pestisida maupun pupuk dan didukung pemerintah untuk penggunaan semaksimal mungkin demi menghindari serangan hama dan penyakit tanaman. Meskipun menyandang swasembada pangan, penggunaan jor-joran yang tidak ramah mengakibatkan kerusakan lingkungan. Dan hanya mengutamakan faktor ekonomi. Setelah itu subsidi yang diberikan secara bertahap mulai dikurangi. Kemudian diikuti penurunan penggunaan terhadap pestisida.
Perkembangan pertanian organik di Indonesia mulai berkembang dari tahun ke tahun dengan berbagai komoditas, termasuk pupuk dan pestisida. Hal ini dapat dilihat dari salah satu contoh hasil sertifikasi yang dilakukan oleh lembaga sertifikasi organik INOFICE mulai dari tahun 2007 hingga tahun 2015. Setiap tahunnya menunjukkan peningkatan yang signifikan.(halaman 5)
Menurut buku "Sistem Pertanian Organik" ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam budidaya organik. Salah satunya masa konversi lahan. Riwayat lahan yang akan digunakan harus jelas riwayat penggunaannya. Kapan terakhir menggunakan pupuk kimia sintetis di lahan tersebut. Untuk tanaman semusim diperlukan masa konversi minimal dua tahun, sedangkan tanaman tahunan diperlukan masa konversi minimal tiga tahun.
Dalam pembenihan, benih yang digunakan idealnya berasal dari benih yang sudah disertifikasi organik. Bila belum tersedia dapat menggunakan benih dari tanaman yang dibudidayakan organik. Kalau masih belum tersedia diperbolehkan menggunakan benih non-organik, tetapi bukan benih yang berasal dari rekayasa genetika atau genetically modified organism (GMO).
Semua produk hasil rekayasa genetika ataupun turunannya (benih, bahan aditif,dll) tidak diperbolehkan dalam pertanian organik. Kontaminasi produk organik dengan produk hasil rekayasa genetik dapat menggugurkan status keorganikan suatu produk. Budidaya pertanian organik tidak boleh bersebelahan dengan budidaya pertanian yang menggunakan hasil rekayasa genetik.(halaman 21)
Dalam mengendalikan organisme pengganggu tanaman (OPT) juga dianjurkan memakai pestisida nabati. Karena residu yang ditinggalkan mudah terdegradasi dibandingkan memakai pestisida kimia. Dalam cara preventif bisa menggunakan mulsa untuk mencegah tumbuhnya gulma. Saat mencegah hama dapat menggunakan cara : rotasi tanaman, menggunakan penangkap hama, pengendalian secara mekanis dan memaksimalkan keberadaan musuh alami.
Penggunaan air sebagai irigasi juga perlu diperhatikan, idealnya air yang digunakan langsung berasal dari sumber mata air. Namun demikian, bukan berarti pertanian organik hanya bisa dilakukan di daerah pengunungan saja, tetapi dapat dilakukan pada semua lokasi. Pada sumber air yang bukan berasal dari mata air perlu dilakukan beberapa usaha untuk meminimalkan kontaminasi. Salah satunya dengan cara : membuat kolam penampungan. Dalam kolam tersebut ditanami eceng gondok atau tanaman sejenis yang mampu menyerap logam berat atau bahan berbahaya.
Di Indonesia peraturan tentang pertanian organik sangat rumit. Petani tidak bisa serta merta "mengklaim" pertaniannya sudah organik. Harus ada mekanisme yang lumayan rumit sebelum pertanian dapat dikategorikan organik. Pertanian yang resmi melewati mekanismenya dan lolos, baru dapat menyandang pertanian organik. Terdapat logo yang diperuntukkan untuk yang sudah lolos verifikasi.
Dalam masalah sertifikasi telah dibentuk Lembaganya Sertifikasi Organik(LSO) yang bertugas mensertifikasi pertanian yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN). LSO diawasi oleh Otoritas Kompeten Pertanian Organik dalam menjalankan tugasnya. Di Indonesia baru terdapat delapan lembaga, dan hanya terdapat di Pulau Jawa.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh para petani yang ingin bertani dengan sistem pertanian organik. Di dalamnya dijelaskan cara-cara dalam bertani organik. Mulai dari proses pembenihan sampai proses pengepakan. Selain itu juga dijelaskan bagaimana cara mengurus sertifikasi pertanian organik kepada pihak yang mempunyai otoritas. Sistem pertanian organik tidak boleh dilakukan dengan asal-asalan, apalagi hanya sebatas klaim yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Penulis : Prof. Dr. Ir. Agus Kardiman, M.Sc.
Penerbit : Intimedia
Tebal : xii + 166 halaman ; 15,5 cm x 23 cm
ISBN : 978-602-1507-36-0
0 Komentar